Granada Andalusia bisa jadi Jakarta Indonesia
Tulisan ini selesai 27 Januari 2012 menjelang magrib dan di lanjutkan Januari 2019 bada isya.
Belum rampung novel yang kubaca, berjudul GRANADA. Dari salah seorang sejarawan muslim eropa. Namun, begitu getirmya keluarga muslim yang diceritakan menghadapi Genosida atau pembumi hangusan sebuah sistim hidup muslim. Buku buku, keluarga, kerajaan, dan semua yang berbau........ Islam.
5 tahun setelah novel itu selesai dibaca, di 2017 bersyukur membaca Karya tulis Sejarah Bangkit dan Runtuhnya Andalusia Prof DR Raghib As Sirjani. Seolah kitab sejarah ini membenarkan dalam bukti bukti yang meyakinkan. Genosida, pembunuhan, penghancuran generasi, pelumpuhan sistem hidup, pembumi hangusan karya karya berbahasa arab itu benar adanya di andalusia.
Iman dan Islam hanya dalam hati. Bilapun mampu, Sholat harus diam diam bersembunyi dalam bilik bilik rumah yang tertutup rapat, apalagi berjamaah. Jangan harap.
Kitab kitab berbahasa arab dibakar. Dan barang siapa yang menyimpan dan membacanya bersiaplah untuk menghadapi tentara tentara kristen, “dibakar hidup hidup". Kitab kitab karya andalusia yang sampai kepada kita sekarang tidak banyak, dan terselamatkan ilmuwan ilmuwan kristen yg berguru kpd muslim yg kemudian menghidupkan rainasance. Dan pola rainasance tidak ada satupun karya seorang muslim, padahal periode itu tidak sampai 1 abad setelah pembumihangusan muslim di andalusia.
Saat itu, dilarang memakai jilbab, kerudung, hijab atau yang semisal dikenakan muslimah menutup aurat diluar rumah. Jika didalam rumah didapati memakai busana muslim muslimah bersiaplah untuk menghadapi hukuman. Mereka yg di murtadkan dicirikan dengan topi krucut.
Dilarang untuk menggunakan nama nama muslim. Semua harus dibaptis dengan semua nama nama kristen. Itulah pembumihangusan kebudayaan dalam sejarah umat manusia. Padahal di tangan pemerintahan muslim mereka hidup bebas. Karena kemajuan muslim, umat kristiani berbondong bondong masuk islam.
Tiada azan, tiada perayaan pernikahan, tiada kebahagaiaan menyambut ramadhan dan buka puasa, tiada kebahagiaan idul fitri atau qurban. Tiada keceriaan hati, hanya setitik keimanan dalam dada yang masih mampu memegang teguh. Walau di luar rumah seperti umat kristiani dirumah tetap sebagai seorang muslim.
Sebuah fatwa seorang ulama maroko menjawab kegundahan hati umat islam andalusia. Diperbolehkan, tunduk, taat, dan mengatakan saya umat kristen, tuhan saya yesus dihadapan orang orang karena terpaksa karena hukuman tentara yang membinasakan jika itu dapat menyelamatkan jiwa. Tapi Allah tau engkau masih terpaut keimanan dengan keislaman.
Sebuah keluarga yang mewakili beberapa keluarga di sana tidak punya harapan mendidik sibuah hati dengan kebenaran islam. Karena pasti, suatu saat akan ada generasi-generasi yang akan datang tidak tahu islam. Karena islam butuh pengamalan sementara tiada amal islam disini. Kristiani diluar, didalam rumah hanya iman islam dalam ketakutan.
Sangat bersyukur ketika kita bisa bebas menjalankan syariat-syariat islam dengan sebaik yang kita mampu. Adzan masih terdengar, ijab qabul pernikahan dengan khidmat,perayaan idul fitri, ramadhan yang semarak, dan keindahan islam lain. MasyaAllah. Nikmat mana yang dapat kita ingkari.
Mari kita berjuang untuk diri dan keluarga, jangan sampai Granada di andalusia terjadi di indonesia. Mungkin bukan dalam bentuk tentara kaveleri, tapi genosida kebudayaan dan sistim hidup berupa undang undang.
Jakarta, 27 Januari 2012
Guruh Akbar