Malik tetap menunggu di temani majalhnya.
"The last Care Elang" majalah yang baru Malik beli. di halaman ke 11 kolom 8 terdapat sebuah syair puisi kontemporer yang menarik perhatiannya.
disebut Syair Puisi karena masih memiliki rima pantun/Syair klasik. kontemporer karena tergolong syair modern tak beraliran. yang ditulis penyair muda 'Akbar Akbaroziy Az Jatiy'.
Sudah 15 menit malik menunggu di Halte bis keberangkatan,Bukannya Malik menunggu karena tidak ada bis jakarta bogor. tapi, bis di akhir pekan memang terbiasa penuh. Jakarta yang berdebu, panas dan berisik dengan raungan mesin mesin mobil yang sahut menyahut. tak begitu di hiraukannya.
Majalah Muslim Gaul itu di buka perlahan .
sehalaman demi sehalaman. syair itu berjudul :
"Dibawah Lentera Jingga
Pengemis tua berbaju kumal tas berjejal. Kepala bersorban yang juga kumal. Mata sayu melangkah ontai.
Menyeret sandal berwarna tak serupa.
Tiba tiba terpaku diam.
Memandang langit berwarna Jingga.
Seperti berkaca selamat datang malam.
Tapi aku tak berbangga.
Seulas senyum menawan hati.
Kedua Tangan menengadah, layaknya ia berdoa beribadah. Lantang ia berkata…..
“Demi matahari yang tak mampu menerangi.
Ketika mendung kini dirundung.
Ketika bulan tak mampu memberi arah.
Malam pekat lekas lekat.
Ketika pujangga tak bisa berbangga apatis.
Bait syair yang dipolitisir kapitalis
Ketika punggawa tak lagi berwibawa.
Ketika raja tak lagi bertahta
Ketika waktu tak bisa membantu.
Ahli sejarah hanya diam membisu
Wahai surya kemanakah dianya.
Sutra ungu berpendar jingga.
Langit biru tak berharga bagi gangga.
Ketika tatapan kehilangan jati diri.
Ketika sorban kehilangan pribadi.
Kemanakah hati.
Cinta hanya seutas kata.
Tak berharga saling pandang.
Karena ia pedang yang merebut tahta di syurga.
tidakah kita dengar sabda kekasih "Pandangan adalah panah beracun dari anak panah iblis la'natullah. Barangsiapa yang mengalihkan pandangan karena takut kepada Allah, diberi Allah Keimanan, yang dapat dirasakan Kelezatan di dalam Hati'(HR Hakim)
Oh jingga kemanakah dianya.
Langkah laku kaku tanpa retorika.
Menyerap Energi dan Teknologi.
Tapi alergi demi berbagi.
Maka kata menjadi buta.
Dan kata tak bisa berkata-kata.
Lalu… berkaca dalam jelaga.
Siapakah engkau wahai muka.
Angkuh nian menggendong syariat tak beramal.
Ilmu pengetahuan di otak yang berjejal.
Ketika guru tak lagi ditiru.
Kemanakah dianya Cahaya.
Cahaya kehidupan yang diterima.
Bukankah Cahaya perlahan hilang??
Ditelan zaman yang terus dikekang angkuh oleh kesombongan.
Ataukah Cahaya yang menutupi dirinya.
Ataukah ia menghijabi dirinya.
Bersembunyi dibalik harapan
yang hilang pada engkau yang berjalan-jalan dibalik arena .
Ooooh dia berkata :
Bagai mana dapat di bayangkan bahwa Ia dapat di Hijab oleh sesuatu. Padahal Ia yang menampakan segala sesuatu. (16)
Bagaimana mungkin akan diHijabi oleh sesuatu. Padahal Ia yang Tampak dari segala sesuatu.(17)
Bagaimana mungkin akan dihijabi sesuatu. Padahal ia yang membukakan segala sesuatu
Bagaimana mungkin akan diHijabi segala sesuatu padahal Ia lebih dekat dari segala sesuatu(22)
Bagaimana mungkin tidak adanya Ia. Jika ia tidak ada maka segala sesuatu juga tidak ada.
Bukan ia yang menghijabi dirinya dari manusia. Tapi manusia yang menghijabi dirinya dengan segala sesuatu dengan berbangga di dunia. Bukan Ia yang menjauh tapi kalianlah yang menjauh dengan maksiat maksiatmu.
Maksiatmu adalah candu.
sekali maksiat yang kedua merayu rayu
Aduhai Jingga
Pagiku hilang ditelan siang
Maaf kawan sebelas bulan tlah hilang
dan Ramadhan datang seiring petang
sekali lagi maafkan kawan
asa tak mau menanggungdosa di bulan yang sebelas
biarkan jiwa bebas lepas
agar harap jalani puasa tanpa dosa
agar harap syawal menjadi awal yang berkah indah dalam Fitrah
Wahai merah!
kusenandungkan rintihan-rintihan ini.
Wahai merah kubukakan tetesan darahku untuk tinta perjuanganmu yang layu mengering.
Kalian mengira aku pengemis gila yang berteriak kacau diantara kerumunan orang pasar.
Kekasihku juga dianggap gila ketika berteriak di tengah kerumunan orang di bukit itu.
Wahai malam pekat, sembunyikanlah amalku.
Wahai cahaya sampaikan amal siang hariku kepada Rabku.
Wahai langit jingga jangan kau sombong dengan keperkasaanmu.
Laut birupun indah dihadapan pelaut-pelaut ulung memberi kabar.
Aku yang gila meminta tahta di syurga.
Bukan tahta sanjungan orang pasar.
bukan pula dinar dirham para dermawan.
Aku sudah cukup kaya bersama Rabbku.
Akulah orang hina yang pantas dihinakan dengan baju kumal sorban kumal.
Karena itu yang tampak di mata.
Silahkan pakai jubah jubahmu wahai warga pasar.
Anyir tulang dan daging tetap tercium.
Kau sendiri yang acuh untuk itu.
Lalu pengemis itu terdiam terdiam, diusapkan tangan kemukanya lalu dia pergi.
Seperti seorang raja bersama pengawal dan punggawa, sang pengemis berjalan perlahan. Tatapan terhunus kedepan. Pengemis tua berbaju kumal meninggalkan pasar.
Terus berjalan. Jauh ia meninggalkan kerumunan.
Roda waktu yang seolah terhenti ketika ia berkata-kata lantang bergetar. Terhenyak warga pasar dibuatnya. Riuh ramai dibuat damai. Tawar menawar dibuat penerimaan. Pengemis tua terus berjalan jauh. Gejolak dada warga pasar membuncah lekat.
Walau tak mengerti isi puisi tapi yakin ini berisi.
Tapi ramai pasar kembali riuh. Walau dada-dada masih galau pilu tak mengerti.
Dan azan maghrib mengalun didalam surau. Hati yang kacau galau, damai dibautnya. Mengharap cahaya di ujung senja. Tapi bukan si jingga kawan. hanya puasa Ramamadan yang datang.
Mencoba taubat bersama yang ahli taat. Mengharap syurga di ujung senja. Kepada Dia Yang Maha Bijaksana. Cahaya kehidupan yang diterima dilangit dan di bumi. di balik surau pasar.
Seorang imam maju kehadapan
Baju sorban kumal itu tergantung di samping Imam
Sang imam berniat lalu bertakbir, Allahuakbar.
Diikuti warga pasar di dalam surau serempak, Allahuakbar………….."
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Note : no dalam kurung = pointer dari kitab Al Hikam sesuai urutannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar